Jumat, 31 Oktober 2014

Korban-korban Kebijakan dan Peraturan JKN

DR. Yaslis Ilyas, DRG. MPH. HIA. MHP. AAK



Saya mempelajari kembali dua kebijakan (Perpres no: 111/2014 dan Permenkes No: 28/2014) yang berkaitan dengan implementasi JKN. Kedua kebijakan ini, tampaknya, dibuat untuk tambal sulam pelaksanaan JKN sehingga ada pasal2 yang tidak berpihak kepada kepentingan peserta. Disamping itu, kedua kebijakan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan peraturan sektor lain yang bisa konflik dengan kedua kebijakan ini. Ditambah lagi, kedua kebijakan ini tidak cukup waktu di-share ke publik untuk mendapatkan masukan sehingga dapat lebih sempurna untuk melindungi kepentingan peserta, PPK dan BPJS. Kedua kebijakan ini kurang berpihak kepada kepentingan peserta, malahan beberapa pasal jelas-jelas mengabaikan kepentingan peserta. Kedua kebijakan ini lebih berpihak dan melindungi kepentingan BPJS sebagai penyelenggara program ini. Kebijakan ini mungkin dibuat tanpa melibatkan wakil peserta bahkan melibatkan wakil BPJS sehingga hasilnya kepentingan peserta diabaikan, tetapi kepentingan BPJS terwakili dengan baik.

Siapa korban Permenkes No: 28 /2014 ?

Permenkes No: 28 tahun 2014 adalah tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang telah ditetapkan oleh Menkes pada tanggal 3, Juni 2014. Permenkes ini sangat merugikan kepentingan peserta. Regulator (Kemenkes) dengan sadar mempersulit dan menangkal peserta untuk dapat menggunakan pelayanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak mereka.

Pertama, BAB III PESERTA DAN KEPESERTAAN, poin 4. Bayi baru lahir dari: a.peserta pekerja bukan penerima upah; b.peserta bukan pekerja; c.peserta pekerja penerima upah untuk anak ke-empat dan seterusnya; harus didaftarkan selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja sejak yang bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang (bila pasien dirawat kurang dari 3 hari). Jika sampai waktu yang telah ditentukan pasien tidak dapat menunjukkan nomor identitas peserta JKN maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum.

Kasus 1 Bayi Peserta non-PBI

Kasus ini terjadi kota Bekasi, Jawa Barat. Seorang ibu peserta JKN melahirkan bayi ke-dua sakit. Malang tidak bisa ditolak, bayi menderita sepsis sehingga butuh perawatan ICU. pada hari ketiga bayi ini meninggal dunia sebelum sempat didaftarkan dan belum punya NIK. Menurut pasal ini, bayi anak kedua tsb harus dijamin BPJS; karena orang tua sudah membayar premi 4,5% dengan jaminan termasuk 3 orang anak. Untuk mendapatkan jaminan BPJS mensyaratkan bayi yang meningal tersebut harus mempunyai NIK. Inilah pokok masalahnya; penyimpangan peraturan oleh BPJS! Ayah sang bayi berusaha daftarkan tapi karena bayi telah meninggal; Dinas Kependudukan, Bekasi tidak bisa mengeluarkan NIK. Ayah ini marah-marah kepada Dinas pendudukan karena tidak bisa melayani kebutuhannya, sedangkan Dinas tidak bisa berbuat apapun karena tidak ada aturannya mengeluarkan NIK untuk bayi yang meninggal! Walaupun, Dinas Kependudukan mau membantu dengan menerbitkan NIK masalahnya tanggal penerbitan haruslah lebih muda dibandingkan tanggal kematian bayi. Jadi tidak mungkin NIK dikeluarkan! Keluarga ini sudah jatuh ketiban tangga lagi. Sudah menjadi peserta JKN, tetapi tetap tidak terjamin karena implementasi peraturan yang Ngawuur!

Sebenarnya, pasal peraturan ini dengan jelas menyebutkan yang harus diadaftarkan 3 x 24 jam hari kerja adalah bayi ke-empat dari peserta JKN! Inilah peraturan yang zalim karena tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh peserta. Dinas Kependudukan, Kota Bekasi memberikan informasi bahwa NIK hanya dapat diterbitkan dalam tempo 14 hari kerja! Tampak, dengan jelas Permenkes ini tidak rasional karena konflik dengan peraturan atau SPM Dinas Kependudukan. Regulator harusnya melindungi kepentingan dan hak peserta! Bukan malahan menghancurkan hak-hak peserta! Pada kasus ini, RS menagih semua biaya pelayanan melahirkan, ICU, obat dan fasilitas lainnya kepada orang tua bayi karena BPJS nolak untuk membayar. Jadi peserta JKN bukan jadi aman malah jadi fakir-miskin! Beginikah tujuan mulia program JKN? Tolong jelaskan Kemenkes dan BPJS peserta perlu kejelasan karena masalah ini eksis dan akan berulang di seluruh Nusantara. Kasian rakyat kita!

Kasus 2 Bayi peserta PBI

Kedua, BAB III PESERTA DAN KEPESERTAAN, C.Pendaftaran Peserta. 1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.

b. Bayi yang lahir dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dicatat dan dilaporkan oleh fasilitas kesehatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Mekanisme penetapan selanjutnya akan diatur oleh Kementerian Sosial.

Bayi yang terlahir dari pasangan PBI nasibnya lebih malang lagi; BPJS pasti tidak menjamin kebutuhan biaya persalinan dan pelayanan kesehatan bayi. Dengan syarat kepersertaan JKN harus punya NIK, maka sudah dapat dipastikan tidak dijamin oleh BPJS. Masalahnya, siapa yang harus bayar biaya persalinan dan pelayanan kesehatan bayi? Jelas peserta PBI orang miskin tidak akan mampu bayar. Apalagi pada kasus bayi dengan sepsis, Ikterus atau cacat kongenital terus siapa yang jamin? Atau biarkan bayi itu mati dengan sendirinya? Apakah ini tujuan mulia JKN?

Kasus 3 bayi Peserta PBI

Pengajuan kepesertaan untuk bayi Mayangsari (4 bulan) ditolak oleh BPJS. “Alasan petugas karena bayi belum punya KTP dan nomor induk kependudukan di dalam kartu keluarga. Maka bayi Mayangsari harus dirawat sebagai pasien umum dan bayar sendiri,” ujar kakeknya, Mulyono. Padahal ibu dari bayi ini adalah peserta PBI program JKN; kebetulan yang sakit adalah bayinya. “Bayi Mayangsari adalah anak dari pasangan Wenty dan Hermanto warga dusun Klepon RT 002/RW 003, Desa Sidodadi, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Bayi malang ini menderita paru-paru, tipus dan muntaber ini sudah ditinggal ayahnya sejak usia 2 bulan, sehingga menjadi tanggungan Mulyono, orang tua Wenty,” demikian Arief Witanto dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR ) Jawa Timur kepada Bergelora.com.

Kasus 3 mirip dengan kasus 2 yaitu bayi dari peserta PBI tidak dijamin oleh BPJS. Jadi kalo sudah miskin jangan punya bayi lagi karena tidak ada peluang untuk dijamin oleh BPJS. Kejadian yang sama di Kota Bogor, semua bayi baru lahir peserta PBI tidak dijamin BPJS dan harus dijamin oleh Jamkesda. Hal ini disampaikan oleh pegawai BPJS kepada Pukesmas dengan perawatan dan RS jaringan BPJS. Tampaknya, kebijakan ini diambil BPJS untuk semua bayi baru lahir peserta PBI harus dijamin oleh Jamkesda. Masalahnya, apakah bisa dipastikan bayi keluarga miskin dijamin oleh Jamkesda? Bagaimana kalau bayi membutuhkan pelayanan lanjutan karena sepsis, Ikterus atau cacat kongenital? Terus siapa siapa yang jamin? Malang betul nasib keluarga miskin warganegara Indonesia. Siapa suruh sudah miskin, beranak lagi! Demikiankah, konsep yang dianut oleh Permenkes ini? Mana visi Kemenkes pro rakyat?!

Kedua, BAB IV Pelayanan Kesehatan, poin 10. Status kepesertaan pasien harus dipastikan sejak awal masuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Bila pasien berkeinginan menjadi peserta JKN dapat diberi kesempatan untuk melakukan pendaftaran dan pembayaran iuran peserta JKN. Selanjutnya menunjukkan nomor identitas peserta JKN selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja sejak yang bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang (bila pasien dirawat kurang dari 3 hari). Jika sampai waktu yang telah ditentukan pasien tidak dapat menunjukkan kartu peserta JKN maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum.

Peraturan ini hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan karena secara teknis pembuatan kartu JKN membutuhkan waktu lebih dari 3 x 24 jam hari kerja. Ditambah lagi, adanya surat keputusan Dirut BPJS yang menyatakan bahwa kartu BPJS hanya berlaku setelah 7 hari kerja (waiting period). Kebijakan ini akan diberlakukan pada tanggal 1, November, 2014, di seluruh Indonesia. Sebenarnya, kalau kebijakan ini ditujukan untuk mencegah peserta mandiri JKN untuk menggunakan benefit mendapatkan pelayanan bedah elektif masih bisa diterima. Bagaimana kalau peserta ini tiba-tiba dapat serangan virus (DBD) atau kecelakaan lalu-lintas? Apakah peserta tidak dijamin BPJS? Inilah kebijakan sewenang-wenang alias zalim kepada peserta. Memang, kebijakan ini biasa diterbitkan pada bisnis Asuransi Kesehatan Komersial, tapi tidak pernah berlaku pada asuransi kesehatan sosial. Dengan kata lain SK Dirut BPJS harus ditolak oleh peserta dan publik!

Pesan untuk Presiden Jokowi

Pertama, Presiden Jokowi, kami mengetahui bahwa anda akan me-launching Kartu Indonesia Sehat (KIS). Kami yakin ini program mulia yang akan mendukung dan meng-akselarasi program JKN. Kami mohon, sebelum anda terapkan KIS, tolong perintahkan Kemenkes dan BPJS untuk merevisi peraturan yang merugikan dan mengabaikan hak-hak peserta JKN baik PBI atau non-PBI.

Kedua, Presiden Jokowi, tolong revisi PerPres R.I. Nomor: 111 Tahun 2013. Pasal 6, poin 3 Perpres ini tentang: Kewajiban melakukan pendaftaran kepesertaan Jaminan Kesehatan bagi: a. Pemberi Kerja pada Badan Usaha Milik Negara, usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil paling lambat tanggal 1 Januari 2015.Seharusnya ada tenggang waktu yg cukup sekitar 3-5 tahun antara tanggal pemberlakuan UU dengan eksekusi law enforcement. BPJS jangan maksa untuk dijalankan segera, pokoknya sesuai undang2 harus jalan! Bisa menimbulkan gerakan kontra produktif terhadap program JKN sendiri. Bahkan bisa terjadi cheos,dengan demo masif dari pihak serikat buruh dan rakyat yang bukan tidak mungkin didukung oleh pengusaha dan dipolitisir oleh pihak yang tidak happy dengan Presiden Jokowi-JK.

0 comments :

Posting Komentar

 
Design by Rekan Indonesia | Bloggerized by joel75 - Kolektif Pimpinan Pusat