Jumat, 10 Januari 2020

Peduli Korban Banjir Bandang


Selasa, 26 Juli 2016

KPW Jabodetabek Rekan Indonesia Demo Kemkes Soal Vaksin Palsu

Unjuk Rasa Rekan Indonesia Jabodetabek Di Kemkes
Rekan Indonesia. Jakarta - Pagi ini, Selasa (26/7) 30-an massa yang mengatasnamakan Kolektif Pimpinan Wilayah Jabodetabek Relawan Kesehatan Indonesia (KPW Jabodetabek Rekan Indonesia) melakukan unjuk rasa di depan kantor Kemkes RI, unjuk rasa yang dikuti oleh pengurus wilayah dari 7 kota di Jabodetabek ini menuntut Menkes bersikap tegas terkait kasus Vaksin Palsu.

Pasca diumumkannya oleh Menteri Kesehatan (Menkes) terhadap Rumah Sakit (RS) yang menggunakan vaksin palsu memunculkan reaksi dari rakyat.

Dalam beberapa waktu terakhir ini beberapa RS telah digeruduk rakyat dan menimbulkan aksi kericuhan bahkan berujung pada tindak pemukulan terhadap direksi RS.

Aksi geruduk tersebut merupakan ekspresi kemarahan rakyat terhadap anak-anak mereka yang telah disuntikan vaksin palsu yang akhir-akhir ini kasusnya mencuat dan ramai diberitakan media.

Demikian disampaikan Andi Tamma, Ketua Rekan Indonesia KPW Jabodetabek dalam siaran persnya saat berkunjung rasa di kantor Kemkes RI.

Menanggapi kejadian tersebut menurut Andi, Rekan Indonesia meminta Menkes dan BPOM jangan cuci tangan terhadap kasus vaksin palsu tersebut.

Bagi Rekan Indonesia yang harus bertanggungjawab terhadap kasus tersebut adalah Menkes dan BPOM selaku kepanjangan tangan pemerintah yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan termasuk peredaran vaksin.

Ali Sofian, kordinator aksi tersebut mengatakan dirinya meminta menkes untuk memberikan arahan yang jelas terhadap kasus vaksin palsu ini

"menkes harus memberikan arahan yang jelas apa yang harus dilakukan rakyat yang bayinya di vaksin di rs rs yang terindikasi sebagai peredaran vaksin palsu, agar rakyat tidak berbuat panik dan tau apa yang harus dilakukan " ujar Ali Sofian dalam orasinya.

Dalam kasus vaksin yang diduga palsu ini, RS dan dokter juga merupakan korban akibat kelalaian Menkes dan BPOM dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengawas obat-obatan dimana vaksin masuk didalamnya.

Ditambah sampai hari ini kemenkes dan BPOM tak pernah melakukan penelitian apakah vaksin yang diangap palsu ini apakah benar-benar palsu atau ternyata vaksin asli namun diperjual belikan secara ilegal yang tak melalui kemenkes dan BPOM sebagai pengontrol peredaran obat-obatan Indonesia, terlebih sejak tahun 2003 beredar dan sampai hari ini tak ada jatuhnya korban secara masif dari dampak yang diberikan oleh dugaan vaksin palsu ini terhadap bayi yang di suntikan.

Sementara Martha Tiana Hermawan, Ketua Rekan Indonesia Jakarta Selatan dalam orasinya mengungkapkan, kita bisa bayangkan jika selang infus saja ada bulih udara dan masuk ke tubuh orang yang diinfus akan menimbulkan masalah terhadap orang yang diinfus, apalagi jika benar vaksin ini adalah vaksin palsu. Tentunya akan berdampak langsung terhadap bayi yang telah disuntikan.

Dalam aksinya Rekan Indonesia Jabodetabek menyampaikan tuntutan sebagai berikut :

1. kejadian vaksin palsu ini sebagai Kejadian Luar Biasa.

2. Segera membentuk Crisis Center yang tersentralisasi, guna mempermudah pengawasan, pendataan, memastikan transparansi, akutabilitas dan kredibilitas tenaga dan penanganan terhadap anak "korban" pemberian vaksin yang diduga palsu.

3. Memastikan akuntabilitas, kredibilitas dan transparansi penanganan dengan membentuk Komite Pengawas penanganan Korban Vaksin Palsu, yang terdiri dr unsur pemerintah terkait, masyarakat, perwakilan orang tua korban, Komisi Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Konsumen, Ikatan Dokter Anak Indonesia dan unsur2 terkait lainnya.

4. Memastikan seluruh pembiayaan penangan korban vaksin palsu menjadi tanggungjawab RS terkait.

5. Pembenahan Regulasi Pengawasan dan Pengadaan Obat, di institusi kesehatan dengan melibatkan unsur konsumen didalamnya.

6. Sentralisasi Pelaksanaan Imunisasi.

Selasa, 03 Maret 2015

Menggugat Kenaikan Premi BPJS

Agung Nugroho (kiri kemeja kotak)
Oleh Agung Nugroho

Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS) berencana menaikan iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI, hal ini juga direstui oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Alasannya adalah defisit di tahun pertamanya. Chazali Situmorang selaku ketua DJSN menyatakan “…besar pasak daripada tiang alias lebih besar klaim ketimbang iuran yang diraup…” Iuran baru untuk peserta PBI diusulkan menjadi Rp. 27.500 dari Rp. 19.225, sementara untuk peserta non-PBI bertambah Rp. 10.000 untuk setiap kelas yang berlaku. BPJS mencatat defisit tahun lalu, total iuran yang masuk mencapai Rp. 41,06 triliun, total manfaat dan klaim yang dibayar sebesar Rp. 42,6 triliun, kesimpulannya adalah rasio klaimnya menjadi 103,88 persen.

Defisit ini kemudian disiasati dengan menggunakan dana cadangan teknis Rp. 6 triliun. Pada akhir tahun 2014, sisa dana cadangan Rp. 2,2 triliun. Dana ini kemudian dialokasikan oleh pemerintah dalam APBN-P 2015 Rp. 5 triliun.

Fachmi Idris, Direktur Utama BPJS sebelumnya malah pernah mengatakan, kebanyakan masyarakat yang mendaftar menjadi peserta ketika mengalami musibah sakit. “Ketika sakit di rumah sakit, baru mendaftar”, lagi-lagi masyarakat disalahkan.

Berselang 1 hari dari penyetujuan kenaikan iuran BPJS oleh DJSN, Menteri Kesehatan Nila F Moelok dan Direktur Utama BPJS Fachmi Idris langsung berkonsultasi pada Presiden. “Presiden tidak katakan besaran (kenaikan) tapi setuju dengan apa yang akan kita coba…” artinya Presiden setuju dengan kenaikan iuran ini, bahkan untuk PBI yang berasal dari kalangan tidak mampu ditambah besarannya.

Haruskah Kita Percaya Dengan Alasan Defisit? Sementara Peserta Meningkat Melebihi Target Utama! 03 April 2014 Humas BPJS menyebarkan berita umum berjudul “SUMBER DANA BANYAK, BPJS SANGAT SEHAT” berita ini dipublikasi karena ada dugaan masalah keuangan yang membuat BPJS hanya berumur dua bulan, hal ini dibantah keras.

Kementrian Kesehatan pada waktu itu mengungkapkan data bahwa uang yang dikelola BPJS cukup besar sehingga mustahil bangkrut. Bahkan Kepala Regional VII BPJS Jatim Kisworowati prihatin dengan munculnya penilaian bahwa BPJS berumur pendek karena finansial. Dia mengungkapkan data bahwa penerimaan BPJS tahun itu diprediksi mencapai Rp 38,2 triliun. Pendapatan itu pasti didapat karena bersumber dari alokasi buat peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang sudah disepakati di APBN. Selain itu, dari uran PNS, pegawai pemda, TNI/Polri, jamkesda, dan peserta mandiri. Karena itu, meski jangkauan peserta mandiri belum maksimal pun, posisi keuangan BPJS bisa dikatakan sangat aman, paparnya menyombongkan diri di ruang redaksi Jawa Pos (14/3/14).

Dalam setahun, BPJS menargetkan pendapatan dari pendaftaran peserta mandiri mencapai Rp 104 miliar. Namun, hanya dalam dua bulan saja BPJS mampu mencapai pendapatan Rp 43,5 miliar. Karena itu, BPJS optimis pendaftar peserta mandiri terus bertambah. Kisworowati juga menanggapi adanya dana cadangan teknis yang dimiliki BPJS dari peralihan PT Askes sebesar Rp 5,5 triliun. Dana itu hanya dipakai jika iuran premi dari peserta tidak mencukupi.

Namun, dengan jumlah pendapatan pasti yang diterima BPJS, dana cadangan teknis itu sampai sekarang belum terusik, ungkapnya belagu. Dengan begitu, kami tidak akan bangkrut. Sebab, kami memiliki sumber pendapatan pasti dari pemerintah melalui APBN.
Belum termasuk dari sumber pendapatan lain, tambahnya makin pede. Di satu sisi, pengeluaran BPJS untuk membayar kapitasi di tingkat layanan primer hanya Rp 650 miliar per bulan, sedangkan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan sekitar Rp 2-2,4 triliun per bulan. Termasuk biaya nonkapitasi dan di luar Ina CBGs sekitar 1,6 triliun.

Jumlah pengeluaran itu sudah pasti ter-cover dari pendapatan BPJS, tegas Kisworowati. Mengenai masa depan BPJS, Kisworowati optimis pendapatan yang diterima dari BPJS naik karena pendaftar mandiri terus bertambah.

14 April 2014 Humas BPJS menyebarkan berita umum lagi berjudul “Iuran Peserta BPJS Kesehatan Terkumpul RP. 8,5 Triliun” sudah pasti berita ini dimunculkan untuk meningkatkan kepercayaan publik bahwa BPJS mampu mengelola jaminan kesehatan. Direktur Kepesertaan BPJS Sri Endang Tidarwati menjelaskan, data Kementerian Kesehatan menunjukkan sampai dengan akhir Maret 2014, dari pembayaran klaim BPJS yang masuk ke rumah sakit telah terjadi surplus, terutama di semua rumah sakit tipe A yang terdata. Juga terjadi 96% surplus di semua rumah sakit tipe B dan C, dan 97% di kelas D. “Artinya dalam 100 hari pelaksanaan JKN, asumsi atau opini di awal-awal bulan Januari bahwa sebagian besar rumah sakit akan merugi dengan tarif Ina CBGs menjadi tidak terbukti,” katanya pada waktu itu.
Sehingga dapat kita lihat alasan menaikan iuran karena defisit adalah untuk menambah surplus. Menteri Kesehatan pada 5 Januari 2015 saat beraudiensi dengan Menteri Kordinator Bidang Perekonomian RI menyatakan, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga Desember 2014 mencapai lebih dari 131 juta jiwa, sudah melebihi target yang diteteapkan sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat luas menerima program JKN dengan cukup baik. Bagaimana mungkin kita harus percaya tahun 2014 BPJS mengalami defisit sehingga berencana menaikan iuran, pada awal-awal beroperasi mereka begitu sombong mampu mengelolanya, BPJS mustahil bangkrut.

Bahkan awal Januari Menkes mengatakan peserta BPJS sudah melebihi target, sekarang ingin menaikan iuran dan menyalahkan masyarakat seperti yang dikatakan Dirut BPJS. Sementara pelayan BPJS sangat amburadul, ini bisa kita lihat dari kasus-kasus peserta BPJS tidak mendapatkan ruangan, obat yang seharusnya di cover dikenakan tarif, tidak sedikit pula yang meninggal dunia karena pelayanan rumah sakit yang buruk, dll.

Belum lagi peraturan-peraturan BPJS yang tidak masuk akal dan merugikan peserta seperti Peraturan Direksi BPJS Pusat 211/2014 dan Permenkes no; 28/2014, Pelayanan Kesehatan, poin 10. Status kepesertaan pasien harus dipastikan sejak awal masuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

Sudah sangat jelas bahwa BPJS adalah lembaga “NGAWUR” yang mengelola jaminan kesehatan kita, dan sudah terbukti gagal dalam menjamin kesehatan bagi masyarakat. Bayangkan berjuta-juta rakyat mendaftar sebagai peserta jaminan kesehatan, hal ini justru dimanfaatkan untuk terus mengeruk keuntungan.
Kesehatan adalah produk yang telah dijual, sementara kita adalah konsumen atas produk tersebut. BPJS sebagai pengelola produk ini, diawal tahun mati-matian meyakinkan masyarakat bahwa produk yang dijual harus kita beli, dan kita telah membeli barang yang dijual tersebut sampai melebihi target penjualan menjadi tumbal untuk menaikan harga barang, karena kita meminta garansi yang jelas-jelas barang yang kita beli rusak.

Jika demikian BPJS bukan lagi lembaga yang ditunjuk Undang-Undang untuk mengelola jaminan sosial, tetapi telah menjadi sebuah perusahaan asuransi sosial yang bertujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Karena yang kita yakini adalah kesehatan untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun.

Penulis: Agung Nugroho, Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia)

Kamis, 26 Februari 2015

Rumah Sakit Rujukan Kabupaten Sorong Dialih Fungsikan

Sorong, rekanindonesia.org- Rumah Sakit Rujukan Kabupaten Sorong yang terletak di ruas jalan Sorong-Klamono Km 24, Distrik Aimas Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat yang dibangun pada masa pemerintahan Bupati, Jhon Piet Wanane telah dialih fungsikan menjadi Fakultas Kedokteran, Univesitas Papua.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari seorang petugas keamanan yang tidak ingin namanya dimuat yang sementara berjaga di lokasi rumah sakit tersebut, bahwa pemerintah Kabupaten Sorong telah melakukan kerjasama dengan Universitas Papua dengan cara meminjamkan ruangan rumah sakit untuk dijadikan tempat kegiatan perkuliahan selama setahun, karena kampus sementara dibangun di lokasi yang berbeda.

Padahal rumah sakit rujukan sangat dibutuhkan di Provinsi Papua Barat terlebih khusus lagi di wilayah Sorong Raya yang meliputi beberapa kabupaten seperti, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Maybrat dan Kota Sorong, sehingga pasien yang tidak dapat ditangani di daerah tidak lagi di rujuk ke luar Papua seperti ke Makassar, Surabaya, Bandung dan Jakarta

Rumah Sakit Rujukan Kabupaten jika terbangun merupakan rumah sakit yang sangat mewah dengan fasilitas yang sangat memadahi karena seluruh bantuan berasal dari Kementrian Kesehatan RI.

Yang sangat disayangkan beberapa alat kesehatan yang berasal dari APBN tahun 2014 hingga kini tidak di pasang dan dibiarkan begitu saja sehingga terkesan mubazir padahal rumah sakit yang ada di wilayah Sorong Raya masih membutuhkan peralatan yang tidak terpasang pada rumah sakit rujukan kabupaten Sorong.

Diduga pembangunan rumah sakit rujukan Kabupaten Sorong tidak diteruskan pembangunannya disebabkan karena pergantian tampuk pimpinan dari Dr. Jhon Piet Wanane kepada Dr. Drs. Stepanus Malak, M.Si. (Jaspith)   

 

 
Design by Rekan Indonesia | Bloggerized by joel75 - Kolektif Pimpinan Pusat