Selasa, 25 November 2014

Korban Kebijakan BPJS & Kemenkes

Oleh : dr. Yaslis Ilyas

Seminggu ini, saya mendapat 3 kasus peserta JKN yang dikirimkan via sosial media dan email. Ketiga kasus menceritakan bagaimana penderitaan keluarga miskin dan peserta BPJS tidak mendapat pelayanan kesehatan dari rumah sakit karena adanya peraturan2 BPJS dan Permenkes yang menghalangi hak peserta untuk mendapatkan Jaminan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional yang digadang-gadang terbesar di dunia ini.

Kasus 1.

Kasus ini dikirim tgl 22, November, 2014 oleh Ketua Umum Relawan Kesehatan Indonesia. Bongkar kecurangan BPJS, cabut Permenkes 28/2014, Peraturan BPJS Kesehatan 4/2014, Peraturan Direksi BPJS Pusat 211/2014 ! Makin menyengsarakan rakyat, harus memiliki rekening, harus satu KK didaftarkan, E-KTP, 7 hari baru aktif. Makin sulit rakyat kedepan. Inilah yang dialami anggota Rekan Indonesia Kab. Kediri hari ini. Terkatung-katung di RSUD Kab. Kediri. Tapi ini sedang coba diadvokasi. Kalau tetap ditolak, ya aksi kami lakukan hari ini juga

Slamat malam dok. Saya mau laporan ada pasien a/n: muhammad rizal prayuda usia: 5 bulan alamat:jl kapuk rt 18/11 kel: kapuk kec:cengkareng diagnosa: gizi buruk + diare. Dirawat di RSUD C, Jakarta Barat, no telp. klg pasien: 081284520875. KENDALA; pasien di minta uang sama pihak sebesar Rp 945.000. Ayah pasien sudah bilang bahwa akan mengurus BPJS hari senin pihak rs bilang tidak bisa. Akhirnya keluarga pinjam2 uang demi anaknya, pekerjaan ayah pasien cleaning service. Keluarga ini miskin!

Kasus 2

Assalamualaikum, Saya mau cerita ttg kronologis kejadian yg saya hadapin sebagai anggota BPJS. Pada tgl 18 November istri saya (hamil 33 minggu) mengalami pecah ketuban, setelah saya jemput dr kantornya lgsg Saya bawa ke klinik persalinan faskes I di RS Bhayangkara Brimob, Kelapa Dua, Depok. Pada saat itu bidan di RS tsb menyatakan bhw istri saya ketubannya sudah pecah dan sdh pembukaan 1, akan tetapi mnurut bidan, klinik tsb tdk memiliki fasilitas N-ICU untuk merawat bayi prematur. Menurut bidan yg sama, biasanya mereka kirim (merujuk) k RS yg memiliki fasilitas N-ICU. Saat itu dia menyebut RSIA H, Depok.
Atas pertimbangan keselamatan bayi, saya memutuskan untuk membawa istri ke RSIA H, Depok.

Pada waktu itu blm ada tindakan di Klinik Bersalin RS Bhayangkara sehingga blm ada surat/rujukan yang dikeluarkan RS Bhayangkara. Sesampainya di RSIA H, saya ceritakan kepada perawat ttg keadaan istri tanpa proses apapun dgn cepat mereka bawa istri Saya ke ruang persalinan. Setelah dilakukan observasi singkat, mereka menyatakan bahwa istri saya mengalami rembesan ketuban, dan tidak ada pembukaan. Mereka menyarankan untuk dirawat selama 3 hari di RSIA untuk pemantauan.

Mereka jg mengatakan bahwa keadaan ini bs diatasi agar tdk terjadi kelahiran prematur. Untuk bs dipantau selama 3 hari, saya harus buka kamar, bidan mengatakan bahwa kamar kelas berapa saja istri akan tetap berada di kamar persalinan untuk pemantauan. Saya memilih kamar kelas 3 krn itu yang paling murah dan tdk menggunakan BPJS (bayar pribadi) krn saya mengerti bahwa untuk klaim BPJS perlu ada rujukan dr Faskes 1. Dan yg bs dirujuk adlh keadaan darurat, asumsi saya darurat adalah keadaan yg hrs segera dilakukan tindakan bukan observasi.

Saya mendaftar pada tgl 18 November 2014 jam 18.00. Selama 2 hari selalu dilakukan pemantauan secara berkala dgn memeriksa jantung janin, memeriksa cairan ketuban apakah masih keluar atau tidak. Istri Saya pun disarankan untuk banyak minum agar cairan yang keluar dapat tergantikan serta diberikan infus pereda kontraksi, dilakukan pula beberapa kegiatan medis yg menunjang untuk mengembalikan keadaan kandungan menjadi normal. Pada tanggal 19 November sore (sekitar jam 4 sore) dilakukan CTG (perekaman jantung), ada tanda-tanda yang menunjukkan jantung janin tidak stabil, jam 6 sore dilakukan CTG lg dan msh menunjukkan ke-tidak stabil-an jantung janin, sampai dinyatakan ‘gawat janin’ dan hrs dilakukan SC (operasi Caesar) sesegera mungkin.

Hari berikutnya tgl 20 November Saya coba untuk mengajukan operasi SC semalam masuk ke dalam tanggungan BPJS. Sedangkan anak yg terlahir prematur dan kemudian dimasukkan ke ruang N-ICU tdk bs Saya masukkan ke dalam tanggungan BPJS.

Akhirnya, di hari yg sama pengajuan BPJS untuk istri saya disetujui, oleh karena BPJS istri terdaftar di kelas 1, Saya pun minta agar penempatan Istri di kelas 1 jg. Sayangnya ruang kelas 1, kelas 2 dan kelas 2a semua penuh, Istri ditempatkan di kelas 3. Sampai tanggal 21 November siang, Saya mengajukan kembali untuk pindah kelas kamar untuk istri, Saya berhasil memasukkan istri ke ruangan kelas 1 setelah ada ruangan yang kosong. Sebelum dilakukan mutasi pemindahan kelas, dijelaskan oleh pihak administrasi RSIA, ada perbedaan biaya untuk segala tindakan, visit dokter dan obat-obatan dari kelas 3 dan kelas 1. Yang Saya pahami adalah jika ada visit dokter, tindakan medis atau pemberian obat-obatan setelah pindah kelas, maka biaya sama dengan kelas 3 dan selisih harga jadi tanggungan pribadi. Namun sore harinya Saya dipanggil oleh pihak administrasi rawat inap RSIA H, Depok Saya dipanggil untuk penjelasan mengenai selisih harga.

Dan disaat itulah Saya mengetahui bahwa:
  1. Peserta BPJS ada perbedaan batas tertentu biaya yg ditanggung oleh BPJS tergantung kelas Peserta BPJS, untuk kelas 3 batas biayanya hanya sampai 4.240.000, kelas 2 batasnya 5.300.000, kelas 1 batasnya 6.000.000
  2. Istri saya ditanggung BPJS sejak dari masuk pertama ke RSIA yaitu sejak observasi
  3. Total biaya sejak administrasi Istri sejak masuk observasi, operasi SC hingga hari terakhir penempatan di ruangan kelas 3
  4. Karena Istri mutasi ruang kelas perawatan, maka perhitungan biaya dari mulai observasi hingga pada akhirnya keluar dari RSIA berubah disesuaikan dengan harga kelas ruang rawat yang terakhir (perhitungan biaya berlaku mundur). Misalnya: sewaktu ada tindakan operasi SC untuk kelas 3 biayanya adalah sekitar 12.000.000, karena mutasi ruangan ke kelas 1 menjadi 19.000.000
Demikianlah, kurang lebih kronologisnya, Saya mohon bantuannya, bagaimanakah seharusnya tanggungan BPJS untuk Istri Saya. Salam

Kasus 3.
 
Kasus ini dikirim seorang dokter. Miris banget dengan JKN, kata nya pro rakyat, tgl 4 November pasien x, masuk ke RSUD, Provinsi Sumatera Barat, mereka mendaftar BPJS, dengan diagnosa BBLR berat badan 1.8 kg, kelangsungan hidup pasien X bergantung pada alat bantu dan inkubator.Pasien sadar kebijakan BPJS kartu bisa aktif setelah 7 hari semenjak terdaftar, tgl 11 pasien melunasi semua pembiayaan RS, dengan meninjam biaya dari orang lain dengan total biaya lebih 7 jt. Tgl 12, November, 2014, peringatan HKN pasien mencoba mengurus SEP BPJS. Betapa kaget dan galau nya keluarga pasien. Ternyata BPJS tidak bisa berlaku pada satu siklus pelayanan di RS, keluarga pasrah dan akan membawa pulang paksa anak nya. Rasa nya kami tidak tega, hidup anak tergantung dengan alat yang di pakai. Kami mencoba melakukan pendekatan kepada BPJS, dengan harapan keluarga pasien sudah tidak mampu lagi membayar, mohon di berlakukan BPJS. Demi penyelamatan nyawa pasien, dan kemanusia, namun usaha tersebut gagal. Pasien di saran kan utk di rujuk ke RS lain agar bisa di berlakukan BPJS, miris rasa nya. Kami coba kontak beberapa RS utk merujuk bayi tersebut, ternyata di RS yang kami tuju, ruang rawat bayi BBLR sesuai dengan kedaan bayi penuh. Akhir nya kami konfirmasi ke BPJS lagi, BPJS menyaran kan kami utk membuat kan kronologis dan keadaan bayi sebagai bahan pertangung jawaban utk mereka yang kami tanda tangani dari pighak RS dengan harapan bayi ini bisa di selamatkan. Sungguh miris rasa nya, yang kata nya, BPJS pro rakyat..

Kasus seperti ini mungkin setiap hari dialami oleh peserta JKN dan ribuan kasus dihadapi oleh personel RS. Kebijakan BPJS dan Kemenkes membenturkan rakyat miskin dengan petugas RS. Sering timbul keributan dan sumpah serapah, sampai2 ada judul artikel di Kompasiana.com: Kalian (PPK) lebih kejam dari Israel. Sungguh memilukan, bukan? Apa kondisi ini kita biarkan terus berlarut? Apakah ini kebijakan pro rakyat?

Apa yang harus dilakukan?

Pertama, revisi Permenkes no; 28/2014, Pelayanan Kesehatan, poin 10. Status kepesertaan pasien harus dipastikan sejak awal masuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Bila pasien berkeinginan menjadi peserta JKN dapat diberi kesempatan untuk melakukan pendaftaran dan pembayaran iuran peserta JKN selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja. Jika tidak maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum. Permenkes ini hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan karena secara teknis pembuatan kartu JKN membutuhkan waktu lebih dari 3 x 24 jam hari kerja. Permenkes ini dengan sadar menangkal keluarga miskin Indonesia untuk tidak dapat menggunak JKN. Saya mohon kepada Menkes RI untuk segera mencabut peraturan yang tidak pro rakyat ini.

Kedua, BPJS harus merevisi Peraturan Direksi BPJS Pusat 211/2014 yang menentukan waktu tunggu valid kartu 7 hari untuk peserta mandiri yang memilih kelas 2 dan kelas 1. Sedangkan, asuransi komersial saja tidak demikian, seharusnya yang bisa diatur waktu tunggu hanya untuk benefit operasi elektif. Rasanya, teman2 BPJS adalah spesialis asuransi kesehatan yang faham benar instrumen ini. Disamping itu, Apakah keluarga miskin harus punya rekening bank? Masuk bank saja bingung!

Ketiga, belajar dari Asuransi Kesehatan Sosial Turkey, sejak tahun 2006 masih defisit. Pada tahun 2013, mereka masih defisit 19% dari total biaya yang kemudian dibiayai oleh Pemerintah Turkey. Mestinya, BPJS & Kemenkes berjuang ke Presiden Jokowi untuk mendapatkan dana kontingensi (dana pengalihan subsidi BBM) bila terpaksa harus BPJS defisit. Bukan membuat aturan yang menyengsarakan rakyat miskin dengan menghambat dan menangkal rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan karena takut rugi.

Terakhir, RS harus menjelaskan dengan rinci resiko biaya kalau pasien naik kelas walaupun menjadi hak peserta. Tarif pelayanan dan tindakan RS di Indonesia mengikuti kelas perawatan, makin tinggi kelas perawatan semakin mahal tarif yang ditentukan; malahaan sering berlipat-lipat. Sering juga RS sengaja dan pengaruhi pasien untuk pindah kelas untuk mendapat keuntungan dari pasien yang tuna-informasi. Ini suatu bentuk fraud kesehatan juga.

*penulis adalah Pendiri: Perhimpunan Ahli Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia & Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia

0 comments :

Posting Komentar

 
Design by Rekan Indonesia | Bloggerized by joel75 - Kolektif Pimpinan Pusat