Kamis, 06 Februari 2014

BPJS-JKN SEBAIKNYA DIHENTIKAN DULU

Pers Realese
Kolektif Pimpinan Nasional Relawan Kesehatan Indonesia
KPN-Rekan Indonesia

BPJS-JKN SEBAIKNYA DIHENTIKAN DULU


Carut marutnya BPJS dengan produk JKN-nya membuat banyak persoalan dalam pelaksanaannya. Hal ini dilontarkan oleh Yusuf Dwi Handoko, Humas Pimpinan Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia).

“Kami sudah menduga jauh sebelum pelaksanaan BPJS dengan produk JKN-nya akan berantakan” demikian ucap Yusuf.

“Kami banyak melihat kekurangan dalam pelaksanaan JKN, sejak awal diberlakukannya UU SJSN lalu disahkannya UU BPJS terlihat betapa dipaksakannya kedua UU tersebut. Tentu kita masih ingat kapan UU SJSN itu ditandatangani mantan Presiden Megawati yaitu disaat akhir masa jabatannya tahun 2004. Lalu kita melihat dengan ngototnya anggota DPR RI dari PDI Perjuangan untuk meloloskan UU BPJS dengan mengilusi rakyat bahwa BPJS adalah jaminan kesehatan yang ideal dan gratis”
“Sekarang ketika BPJS berjalan, malah berbalik arah dengan cepat-cepat melontarkan kritik terhadap JKN yang notebene adalah produk dari BPJS. Mereka mengkritisi tentang iuran yang dipungut oleh BPJS kepada rakyat yang menjadi peserta diluar peserta yang ditanggung pemerintah. Lah padahal sejak di bahas UU BPJS sudah mencantumkan pasal tentang iuran, apa tidak dagelan ini namanya” ujar Yusuf.

UU Nomor 40/2004 tentang SJSN memang mengamanatkan adanya iuran seperti yang terkandung pada pasal 17 :  ayat (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentuayat (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. dan ayat (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

Demikian pula di UU Nomor 24/2011 tentang BPJS sebagai UU turunan dari SJSN juga mengamanatkan adanya iuran seperti yang terkandung pada pasal 1 ayat 6 : Iuran  adalah  sejumlah  uang  yang  dibayar  secara teratur  oleh  Peserta,  pemberi  kerja,  dan/atau Pemerintah, Pasal 10 ayat poin b : memungut  dan  mengumpulkan  Iuran  dari  Peserta dan Pemberi Kerja, Pasal 19 ayat 1 sampai 5 yang mengatur tekhnis iuran peserta dalam BPJS.

Besaran Iuran BPJS Memberatkan Beban Hidup Rakyat !

Sejak diberlakukannya BPJS dengan produk JKN-nya tanggal 1 Januari 2014 kemarin banyak rakyat yang kaget begitu tahu bahwa untuk menjadi peserta JKN dirinya harus membayar iuran. Seperti yang dikeluhkan Kasmiyati, janda beranak tiga yang bekerja sebagai buruh jahit dengan penghasilan Rp 50.000/sehari “Saya pikir JKN itu gratis, iklannya di TV tidak pernah menyebutkan ada iuran. Terus juga kelurahan tidak pernah ada sosialisasi soal JKN ini. Kalau harus bayar iuran Rp 25.000/bulan jelas ini memeberatkan saya. Penghasilan saya cuma Rp 50.000/sehari dengan anak tiga orang, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja saya ngap-ngapan apalagi harus ditambah dengan baiaya bayar iuran BPJS untuk 4 kepala. Wah gak cukup penghasilan saya, belum lagi harga-harga yang terus naik.”

Lain lagi dengan Syaipul, warga Jatipadang, Pasar Minggu yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek “saya bingung sama pemerintah, ada program bagus tapi kok ngeberatin rakyat terus juga gak jelas ciri-ciri orang yang iurannya ditanggung pemerintah itu yang gimana. Saya aja nggak ngerti apa saya masuk yang ditanggung apa kagak. Kalo harus bayar Rp 25.500/bulan, lah anak saya 3 masih pada sekolah berarti buat JKN Rp 102.000/bulan. Narik ojek itu penghasilan kagak tentu kadang kalau lagi rejeki bisa dapat Rp 50.000 pahit-pahitnya mentok ya Cuma Rp 25.000. Nambah berat hidup saya kalau mesti bayar JKN. Kalo begini mah itu berarti yang miskin disedot duitnya, yang kaya disuruh nyumbang ke pemerintah”.

Pemerintah telah menetapkan besaran premi BPJS Kesehatan yaitu untuk Kelas III Rp 25.500, kelas II Rp 42.500, dan kelas I Rp 59.500. Ditengah kondisi ekonomi yang semakin buruk, penetapan iuran ini makin memberatkan kehidupan rakyat, apalagi banyak rakyat miskin yang belum terlindungi dengan program jamkesmas dan jamkesda sehingga mereka harus ikut membayar iuran. Ironisnya pemerintah hanya menanggung 86,4 juta orang miskin di Indonesia, padahal menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah koordinasi Wakil Presiden telah menghitung peningkatan angka jumlah orang miskin di Indonesia pada tahun 2012 hingga 2013 yang mencapai angka 96 juta jiwa. Di Jakarta saja masih ada 1,2 juta orang miskin tidak punya Kartu Jakarta Sehat (KJS) program Jokowi, sehingga otomatis mereka tidak bisa masuk Peserta Bantuan Iuran (PBI) JKN.

Yusuf, Humas Rekan Indonesia menyatakan “Program BPJS dengan produk JKN-nya yang menetapkan sejumlah iuran yang membebani kehidupan rakyat patut dicurigai dan diawasi pelaksanaannya. Karena syarat pemaksaan, harus dibongkar kehadapan rakyat agenda tersembunyi dari program BPJS dengan produk JKN-nya ini.”

“Karena bukan hanya rakyat miskin yang dibebani, tapi seluruh rakyat akhirnya juga dibebani dengan sejumlah iuran tersebut. Misalnya Buruh, yang masih harus mengeluarkan 1% dari upahnya untuk membayar iuran JKN. Begitu juga dengan TNI, Polri, dan Pegawai Negeri.” tambah Yusuf.

Pelayanan Kesehatan Dengan JKN Juga Buruk !                        

Yusuf kembali menambahkan “dibebaninya rakyat bukan hanya pada persoalan iuran, tapi pelayanan kesehatan juga buruk, kami sering mendapat laporan keluhan rakyat terhadap pelayanan kesehatan dengan menggunakan JKN”

“Banyak rakyat mengeluh karena ternyata banyak pembatasan dalam pelayanan dan masih dikenakan biaya tambahan di rumah sakit, ini terjadi bukan hanya pada peserta JKN yang membayar tapi juga terjadi pada peserta pengalihan dari jamkesda ke JKN” tambah Yusuf.


“Jakarta misalnya, banyak peserta yang tadinya dengan menggunakan JKS tidak mengalami pembatasan pelayanan, begitu JKS berubah secara otomatis malah terdapat pembatasan pelayanan. Rontgen harus bayar, begitu juga dengan USG.”

“Selain itu juga di pihak rumah sakit juga banyak mengeluh soal besaran biaya yang mereka terima, rumah sakit merasa tidak sesuai dengan jumlah tarif yang mereka terima. Begitu juga dibagian administrasi dimana rumah sakit tidak diberikan juklak dan juknis yang detail tentang pelayanan JKN, mereka hanya bermodalkan permenkes, perpes dan surat edaran. Sehingga terjadi banyak perbedaan pola pelayanan di rumah sakit satu dengan rumah sakit lainnya.” Ujar Yusuf.

“Dengan kondisi yang carut marut demikian sebaiknya pemerintah menghentikan pelaksanaan BPJS dengan produk JKN-nya tersebut. Dan segera mengeluarkan perpu tentang jaminan kesehatan yang tidak menerapkan iuran dan memperluas kepesertaannya” tegas Yusuf.

0 comments :

Posting Komentar

 
Design by Rekan Indonesia | Bloggerized by joel75 - Kolektif Pimpinan Pusat