Senin, 27 Januari 2014

Salah Kaprah Feminisme Kelas Menengah (2)

Oleh Dewi Indra Puspitasari
(Kata feminisme baru dikenal di Indonesia pada era tahun 90-an dengan munculnya kelompok-kelompok studi dan advokasi tentang perempuan, misalnya Kalyanamitra dan Solidaritas Perempuan. Feminisme sendiri adalah suatu bentuk gerakan kaum perempuan untuk memperoleh persamaan derajat dengan dan kebebasan dari penindasan lelaki dan aturan-aturan yang mereka buat.)
3. Feminisme Marxis dan Sosialis
Melihat bahwa keberadaan secara sosial menentukan kesadaran, dan penindasan terhadap perempuan adalah hasil dari produk struktur politik, sosial dan ekonomi. Jadi penekanan pada feminisme marxis lebih pada persoalan kelas (Marx dan Engels) di mana perempuan sering mengalami eksploitasi di tempat-tempat kerja dengan upah yang lebih rendah dari pada laki-laki, meskipun secara kualitas mereka lebih jika dibandingkan dengan rekan kerja laki-laki mereka. Sementara feminisme sosialis lebih menekankan pada persoalan keterkaitan kapitalisme dalam menumbuhkan patriarki.
Kritik atas aliran ini menurut Arief Wibowo adalah dalam melihat keluarga adalah laki-laki disektor publik dan perempuan di sektor domestik dan ini pembagian yang terjadi didalam sistem kapitalis, padahal dalam keluarga tidak sesederhana itu. Keluarga bukanlah hanya melulu merupakan alat produksi dan hanya melulu membicarakan keuangan semata tetapi juga mereka masih membahas tentang hal-hal penting lainnya yang menyangkut keluarga.
Kritik kedua yang menyangkut feminisme sosialis adalah cara mereka memandang bahwa feminisme ini terlalu sedikit membicarakan penindasan laki-laki terhadap perempuan, hal ini dikemukakan oleh feminisme marxis. Feminisme sosialis lebih memperhatikan penindasan utama adalah pada perempuan sebagai pekerja dan juga perempuan sebagai perempuan.
4. Feminisme Eksistensialis
Melihat bahwa perempuan selalu menjadi obyek dari laki-laki dan perempuan adalah malafide menurut konsep Sartre. Malafide menurut Sartre adalah manusia munafik yang mau saja diatur atau tidak mau menerima kebebasan sebagai tanggung jawabnya. Beauvoir mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki secara biologis. Dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Beauvoir juga melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang merenggut kebebasan perempuan. Dari aliran ini kemudian muncul istilah perempuan harus memiliki daulat atas tubuhnya sendiri.
Kritik terhadap aliran ini adalah justru mendorong ekploitasi sexual terhadap perempuan. Karena secara tidak sadar mereka melakukan hubungan sexual secara terbuka tanpa komitmen apapun baik secara heterosexual maupun secara homosexual. Terlebih ketika payung hukum yang ada tidak berpihak terhadap perempuan, misalnya tentang anak yang dilahirkan di luar pernikahan. Dari keempat aliran feminisme ini, gerakan feminisme cenderung menjadi salah kaprah dimana posisi perempuan yang seharusnya sejajar baik secara politis, ekonomi, pendidikan, dan sosial justru membuat posisi perempuan terasingkan dengan masyarakatnya.
Mereka kemudian menjadi feminis-feminis yang egois, gegabah, dan cenderung memandang lelaki sebagai pihak lawan dan bukan partner. Bahkan dengan salah kaprah pula, para feminis ini justru menempatkan sosok perempuan sebagai makhluk yang lemah yang harus dilindungi dan harus berontak secara an sich terhadap semua aturan yang dianggap tidak berpihak kepada perempuan. Para penganut keempat aliran feminisme ini mengobral kebebasan pribadi secara mutlak dengan mengeliminir bahwa relasi antara perempuan dengan lelaki seharusnya menjadi pola relasi yang demokratis, dimana kedua belah pihak sama-sama memilik hak mengemukan pendapat dan berjuang untuk kepentingan bersama.
Begitu pula dengan relasi terhadap negara, baik secara politik maupun sosial. Posisi perempuan dan lelaki adalah sejajar dan kepentingan-kepentingan perempuan yang harus diperjuangkan adalah bukan melulu soal pembagian tugas di ranah domestik, atau tuntutan cuti haid/hamil di tempat kerja, namun justru adanya payung-payung hukum terhadap perempuan yang menjadi korban trafficking, perkosaan, dan anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang dicatat secara sah oleh hukum formal. Terlebih kondisi ini diperparah dengan kecilnya pendidikan politik yang didapatkan oleh para perempuan yang menyebabkan mereka memandang sempit feminisme.
Pendidikan politik bagi perempuan menjadi penting untuk melihat bagaimana posisi mereka di keluarga, masyarakat dan negara. Apa saja hak-hak politik mereka dan bagaimana mereka memperjuangkan hak-hak politik mereka? Politik bukan saja persoalan kekuasaan dan duduk di wilayah politis dengan menjabat sebagai pejabat publik, tetapi bagaimana para perempuan tidak menjadi warga kelas dua secara politik dan sosial dengan lelaki sebagai pengambil keputusan publik dan atau sebagai pembisik. Banyak sekali para perempuan yang menjabat sebagai pejabat publik atau pemegang kekuasaan secara politis yang hanya menjadi pelaksana kebijakan-kebijakan yang telah dibisikkan oleh para lelaki.
Sesungguhnya di luar keempat aliran feminisme yang justru menempatkan perempuan di ambang status quo karena interpretasi yang salah terhadap posisinya di masyarakat, ada sebuah aliran feminisme yang lebih demokratis. Aliran ini diusung oleh salah satu tokoh perempuan Mesir, yakni Nawal el Shadawi. Tesis mereka terhadap feminisme adalah setiap perempuan berbeda, setiap komunitas dimana perempuan itu berada juga berbeda. Penindasan yang terjadi pada perempuan mempunyai keunikan dan kondisi yang berbeda.
Perempuan di dunia Ketiga berbeda dengan para perempuan di dunia Pertama, dimana kondisi penindasan yang dialami perempuannya pun berbeda. Aliran feminisme ini disebut multikultural dan global feminisme. Aliran ini memandang untuk mengatasi ketertindasan perempuan bukan dengan cara mengambil satu bagian dan menganggap bahwa bagian tersebut telah menjelaskan seluruh persoalan ketertindasan perempuan, tetapi harus dilihat sebagai suatu keseluruhan yang memungkinkan kita untuk bergerak bebas dalam menganalisa dan tidak tersempitkan oleh hanya satu pandangan apalagi dibatasi oleh definisi tertentu.
Perempuan tidak lagi dikelaskan pada satu kelas khusus secara gender, namun bagian dari umat manusia secara universal, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan masih mengalami penindasan secara struktural. Untuk mengatasi ketertindasan perempuan bukan dengan cara mengambil satu bagian dan menganggap bahwa bagian tersebut telah menjelaskan seluruh persoalan ketertindasan perempuan, tetapi harus dilihat sebagai suatu keseluruhan yang memungkinkan kita untuk bergerak bebas dalam menganalisa dan tidak tersempitkan oleh hanya satu pandangan apalagi dibatasi oleh definisi tertentu.
Perempuan menurut aliran ini harus mendapatkan pendidikan politik untuk mengenali dan memperjuangkan haknya terhadap negara. Karena politik bukan melulu soal kekuasaan, tetapi juga hak untuk mendapatkan keadilan yang sama di mata hukum, sosial, ekonomi, dan politik. Dengan pendidikan politik terhadap perempuan, kejadian yang mendudukkan perempuan sebagai caleg hanya untuk memenuhi kuota 30% tidak akan terjadi. Dan dengan pendidikan politik, perempuan diharapkan mampu memperjuangkan tidak hanya posisi perempuan yang sering dimarginalkan, tetapi mereka justru akan muncul menjadi kekuatan yang mampu memperbaiki kondisi politik, sosial, hukum, dan ekonomi negeri ini.*)

0 comments :

Posting Komentar

 
Design by Rekan Indonesia | Bloggerized by joel75 - Kolektif Pimpinan Pusat