Senin, 27 Januari 2014
Salah Kaprah Feminisme Kelas Menengah (1)
Dewi Indra Puspitasari
Kata feminisme baru dikenal di Indonesia pada era tahun 90-an dengan munculnya kelompok-kelompok studi dan advokasi tentang perempuan, misalnya Kalyanamitra dan Solidaritas Perempuan. Feminisme sendiri adalah suatu bentuk gerakan kaum perempuan untuk memperoleh persamaan derajat dengan dan kebebasan dari penindasan lelaki dan aturan-aturan yang mereka buat. Istilah feminisme sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Charles Fourier, seorang sosialis Perancis yang banyak mempengaruhi perkembangan gerakan feminisme di seluruh dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, pendefinisian istilah feminisme menjadi sulit karena kaum feminis tidak ingin memberikan definisi yang pasti dan seragam dengan berbagai alasan. Menurut Clara Thompson, feminisme merupakan gerakan konstruksi sosial dan bukannya gerakan persamaan gender, karena permasalahan yang diusung oleh feminisme mengacu pada penataan sosial dan bukan biologis. Sesungguhnya feminisme pada awalnya muncul sebagai gerakan pemberontakan terhadap aturan-aturan gereja di Perancis pada awal abad 17 yang dianggap membatasi lingkup gerak perempuan. Pada masa itu, gereja-gereja di Perancis menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua setelah lelaki. Dan pada tahun 1960an, di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Virginia Woolf dan Charlotte Perkins yang memperjuangkan hak-hak sipil perempuan, politik dan pendidikan juga.
Di Indonesia sendiri R.A Kartini disebut sebagai pelopor gerakan feminisme di Indonesia, meski yang dilakukannya dianggap sangatlah kecil. Namun apa yang dilakukan Kartini menjadi pintu gerbang bagi perempuan Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Selain Kartini, Indonesia juga mengenal Dewi Sartika yang mendirikan sekolah untuk perempuan, Cut Nyak Dhien yang berjuang untuk kemerdekaan Aceh dari Belanda. Bahkan dalam sejarahnya Indonesia mengenal perempuan-perempuan hebat semacam Ratu Kalinyamat, Mahendradatta alias Calon Arang yang berjuang melawan dominasi patriakhi.
Lalu bagaimana feminisme Indonesia dewasa ini? Menurut Arief Wibowo seorang Dosen Departement Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia dalam blognya mencatat beberapa aliran feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme gender dan psikoanalisa, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme multikultural dan global. Dan nyaris gerakan feminisme di Indonesia dikuasai oleh empat aliran femisnime, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, dan feminisme eksistensialis.
1. Feminisme Liberal
Feminisme liberal melihat bahwa hakekat manusia terletak pada kesadaran, keunikan pada setiap individu dan untuk menjadi bebas manusia harus menggunakan rasio karena rasionalitas sangat penting untuk mencapai kebebasan. Penalaran rasio penting untuk mengerti prinsip-prinsip moralitas yang dapat menjamin otonomi manusia dan menjadi bebas. Gerakan feminisme ini selain mementingkan persamaan pendidikan dan politik, juga mementingkan terpuaskan kesenangan dan kebahagiaan pribadi perempuan.
Kritik terhadap aliran ini adalah perempuan menganggap bahwa mereka dapat bebas sepenuh-penuhnya bebas secara individu tanpa mengikuti pranata sosial yang ada. Bahwa tidak ada masyarakat yang sepenuhnya merdeka, bahkan di negara yang menganut liberalisme semacamAmerika.
2 Feminisme Radikal
Menurut aliran ini pemisahan antara sektor publik dan sektor privat harus dipisahkan. Perempuan secara historis merupaka kelompok yang tertindas dan bentuk ketertindasan perempuan yang paling luas serta mendalam dari bentuk ketertindasan yang ada. Penindasan terhadap perempuan hal yang paling sulit dan tidak mudah untuk dihilangkan tidak seperti penindasan lain. Penindasan terhadap perempuan menyebabkan secara kuantitatif dan kualitatif penderitaan yang paling hebat dan seringkali penindasan ini tidak terungkap karena dilakukan secara sembunyi (domestic violence). Dan pemahaman terhadap penindasan perempuan dapat memberikan konsep atau pengertian konsep terhadap bentuk penindasan lain, dengan kata lain dengan memahami penindasan terhadap perempuan maka dapat dengan mudah memahami bentuk penindasan lain.
Kritik terhadap aliran ini adalah sangat ditekankan sekali bahwa laki-laki menindas dan perempuan yang tidak bersalah. Para penganut aliran ini terjebak pada esensi dari realitas yang akhirnya mengakibatkan analisa mereka mengalami kebuntutan dan secara politik mereka berbahaya. Mereka juga terlalu menganggap tidak positif terhadap hubungan sex yang heteroseksual karena perempuan lebih banyak dieksploitasi, padahal hubungan ini seharusnya dipelihara dan kedua pihak sesungguhnya hanya ingin mencari kesenangan. Menurut aliran ini penindasan dapat dihilangkan dengan cara menentang masyarakat patriarkis. Persoalan penindasan perempuan didasarkan atas hubungan kekuasaan dimana ada kecenderungan laki-laki untuk mengkontrol perempuan. Kegiatan laki-laki dilegitimasi oleh institusi masyarakat yang patriarkis.
Bersambung….
sumber : harianlahat.com

0 comments :
Posting Komentar