Senin, 20 Januari 2014
Patriotisme Tjipto Mangoenkosoemo
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga
"The Indies for those who make their
home there"
(Indische Partij, Douwes Dekker, Tjipto
Mangoenkoesoemo, Suwardi Surjaningrat. December 1912)
Sosok Tjipto Mangoenkoesoemo adalah tokoh
pergerakan nasional awal yang terlalu penting perannya untuk ditempatkan pada
pinggiran sejarah. Namun demikian dalam diskursus pergerakan nasional kalangan
aktivis dan intelektual Indonesia saat ini, figur seperti Tijpto
Mangoenkosoemo, Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat kerap ditempatkan
sebagai pemeran pembantu yang sekilas tampil dalam teater kolosal pergerakan
nasional yang dipadati oleh tokoh-tokoh Bung Besar seperti Soekarno, Muhammad
Hatta, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.
Apabila kita membaca kembali statemen
diatas yang menjadi motto dari NIP yang dibuat oleh tiga serangkai bahwa
"Hindia adalah untuk mereka yang memperjuangkan tanah air mereka
disana", pada tahun 1918, maka jelaskah bahwa kita akan susah membayangkan
sebuah wawasan tentang bagaimana Indonesia yang berbhineka, inklusif dan
tergelar dari Sabang sampai Merauke tanpa adanya landasan konseptual yang padat
sekaligus berkarakter civic nationalism ini.
Apabila kita mengulas secara pendek
sumbangan agensi-agensi dalam pentas besar pergerakan nasional maka kita dapat
mengutarakan pertama-tama adalah Boedi Oetomo dengan tokohnya dr. Soetomo
(dimana Tjipto Mangoenkosoemo juga menjadi salah satu tokoh faksi radikal dalam
organisasi ini) pada tahun 1908 berperan memperkenalkan perangkat
material-eksterior yaitu kesadaran berorganisasi terutama bagi kaum bumiputera
Jawa.
Kedua, Sarekat Islam dengan Tjokroaminoto
pada tahun 1913 mengintroduksi nasionalisme dan hak-hak bumiputera dalam
identitas keislaman.
Ketiga, PKI pada tahun 1920 menyodorkan
perspektif perjuangan kelas dalam pergerakan Indonesia.
Keempat, maka Indische Partij (IP) pada
tahun 1912 dengan salah satu tokohnya yaitu Tjipto Mangoenkosoemo menjadi agen
yang memberikan peranan penting dalam memperluas karakter nasionalisme
Indonesia melampaui kesadaran etnis, ras, agama sebagai sebuah pendasaran
nasionalisme esensial menuju konstruksi budaya nasionalisme yang lebih luas
berlandaskan persamaan nasib sebagai kaum terjajah dan komitmen bagi tiap-tiap
orang yang menginginkan Hindia sebagai tanah airnya.
Kelima, diatas rumah nasionalisme inklusif
yang dibangun oleh Tjipto Mangoenkosoemo dan IP inilah maka Soekarno dan Partai
Nasional Indonesia sejak tahun 1927 membangun konstruksi ideologis yang
menghormati keragaman antar kelompok yaitu Islamisme-marxisme-Nasionalisme yang
mengkristal menjadi Marhaenisme sebagai blok historis perlawanan anti kolonial.
Membaca peran Tjipto sebagai figur sang
penggugah kebangsaan Indonesia tak dapat dilepaskan dari kondisi material yang
menandai pergeseran formasi kolonialisme Indonesia dari era tanam paksa menuju
era era kolonialisme etis liberal. Dimana kondisi ini menjadi periode awal dari
era kapitalisme di Indonesia. Era baru ini merupakan zaman "ekspansi,
efisiensi dan kesejahteraan".
Setelah penaklukan terhadap perlawanan Pangeran
Diponegoro di tanah Jawa setengah abad sebelumnya dan penundukan terhadap
perlawanan rakyat Aceh maka rangkaian pulau dari Sabang sampai Merauke berada
dibawah rust en orde atau kontrol dari Belanda. Dalam kondisi demikian, maka
Pemerintah Hindia Belanda membutuhkan pengembangan birokrasi modern yang
terpusat dalam perluasan ruang lingkup wilayah yang begitu besar baik dalam
wilayah sosial, ekonomi maupun politik (Takeshi Shiraishi 1997).
Era Kemajoean
Selain pergeseran penting dalam
pelayanan-pelayanan pemerintah di bidang ekonomi, ekspansi perdagangan,
pertanian, kesehatan dan pengobatan maka perluasan dalam pendidikan modern
merupakan salah satu penanda utama diera politik etis ini.
Program pendidikan modern ini oleh kolonial
Belanda melayani dua tujuan penting yaitu untuk memperoduksi jenis tenaga kerja
yang diperlukan oleh negara maupun kegiatan komersial privat juga untuk
mengangkat pribumi dan menuntun mereka dalam program asimilasionis bagi
persatuan Timur dan Barat.
Dalam kondisi demikianlah maka zaman yang
disemangati oleh penanda "kemajoean" ini memberikan akses bagi kaum
bumiputera untuk masuk dalam khasanah literari modern berbahasa Belanda,
memfasilitasi mobilitas sosial bagi lapisan kalangan priyayi namun tetap dalam
lingkup stratifikasi sosial yang diskriminatif berdasarkan pertemuan antara
pembagian berbasis ras dan kelas di Hindia Belanda (Takeshi Shiraishi 1997).
Saya ingat M. Ricklefs mengutarakan bahwa
pada zaman baru ini pada satu sisi tidak ada data yang meyakinkan untuk menunjukkan
kontribusi era baru ini bagi kesejahteraan rakyat maka disisi yang lain lapisan
tipis mobilisasi sosial berbasis pendidikan mulai muncul dikalangan kaum
priyayi muda akibat ekspos mereka terhadap pendidikan modern.
Seperti diutarakan Takeshi Shiraishi (1997)
dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 bahwa pengalaman
kalangan priyayi muda masuk dalam pendidikan kolonial membentuk dua unsur yang
fundamental yaitu: Pertama, pendidikan Barat ini memberikan mobilitas sosial
dalam bangunan tatanan diskriminatif apartheid kolonial yang tetap dijaga oleh
pemerintahan kolonial Belanda. Dengan demikian bumiputera adalah tetap
bumiputera secerdas dan seluas apapun cakrawala pengetahuan yang mereka miliki.
Mereka tetap berada pada posisi pinggiran
dalam hierarkhi kelas-ras kolonial Belanda. Inilah yang kemudian yang menjadi
landasan solidaritas sosial mereka sebagai kalangan inteligensi baru
bumiputera.
Kedua, pengalaman mengecap bangku sekolah
modern dan menjadi profesional bergaji membentuk pengalaman, nilai-nilai dan
wawasan pengetahuan yang membedakan mereka dengan generasi orang tua mereka
lapisan kelas feodalis priyayi bumiputera yang masih berpegang pada tradisi
lama yang hierarkhis. Pembelajaran mereka atas modernitas dalam pendidikan
Belanda menggugah kesadaran meraka akan realitas dunia yang lebih luas daripada
sekedar cangkang budaya Jawa lamanya.
Seperti diutarakan oleh Takeshi Shiraishi
bahwa kondisi demikian memang tidak membuat mereka menjadi Barat dan Eropa
serta meninggalkan secara menyeluruh nilai-nilai dan norma tradisi. Namun
demikian wawasan baru dibalik ide "kemajoean" menjadikan tradisi
telah kehilangan makna usangnya bagi mereka, dan makna dari tradisi, kode
kultural maupun wacana tradisional Jawa mereka reinterpretasi kembali dengan
cara pandang baru modern. Pendeknya tradisi berdampingan dan saling berdialog
dengan visi baru modernitas yang mereka pelajari dan alami.
Seperti diutarakan Yudi Latif (2011) dalam
Negara Paripurna bahwa dari pengalaman paradoks mobilisasi dan peminggiran
sosial yang kalangan inteleginsia baru ini maka kebangkitan semangat
resistensial kaum pergerakan terhadap tatanan feodalisme dan kolonialisme
muncul. terbitlah kehendak dari para intelegensia muda Bumiputera untuk
menemukan identitas baru yang menjadi batas imajiner antara diri mereka dan
kaum ningrat maupun prijaji konservatif feodalis.
Bersamaan dengan kehendak itu, maka Abdul
Rivai (1902) menulis sebuah artikel yang didalamnya tercipta dua penanda yaitu
bangsawan pikiran (kaum intelektual muda anti feodalisme, berwawasan kosmopolit
dan memiliki komitmen terhadap rakyat dan kaum bumiputera) dan bangsawan Oesoel
(kaum ningrat yang masih tertambat oleh budaya konservatif-feodalistik usang).
Dalam pembelahan budaya dan politik diawal abad ke-20 inilah maka Tjipto
Mangoenkosoemo adalah tokoh yang mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari
kaum bangsawan pikiran dengan pemikiran dan aksi-aksi politiknya.
Patriotisme Tjipto
Dalam medan pertarungan kontestasi sosial
baru kaum intelegensia bumiputera untuk mengucapkan "selamat
berpisah" dari era leluhurnya yaitu zaman feodalismel dan perjuangan
menemukan identitas baru berbasis bangsa untuk memposisikan dan menarik garis
batas identitas yang berbeda dengan zaman penjajahan kolonial Belanda inilah
maka Tjipto Mangoenkosoemo menjadi agensi penting yang membidani lahirnya zaman
tersebut.
Untuk menempatkan posisi intelektual Tjipto
Mangoenkoesoemo baik dengan lawan-lawan politik maupun polemiknya dalam
perdebatan diskursus kebangsaan Indonesia ini saya akan menggunakan
kategorisasi dari Maurizio Viroli (1995) dalam For Love of Country: an Essay on
Patriotism and Nationalism. Dalam karyanya Viroli membedakan antara faham
nasionalisme an sich dan republikan patriotisme.
Pembelahan ini terkait dengan loyalitas
kepada bangsa (nasionalisme) maupun loyalitas kepada negara bangsa sebagai
sebuah komunitas politik (patriotisme). Pada yang pertama, loyalitas kepada
bangsa dan bahasa nasionalisme tertuju pada perjuangan atas nama pijakan
esensialis untuk menggapai sebuah kesatuan homogen atas kesamaan bahasa,
kebudayaan dan etnis, sementara bahasa perjuangan politik berbasis patriotisme
diarahkan untuk menggugah perlawanan terhadap despotisme, korupsi dan tirani
untuk menciptakan sebuah tatanan politik berbasis demokrasi, keadilan dan
partisipasi politik yang setara. Pada posisi yang terakhirlah Tjipto
Mangoenkosoemo menempatkan diri dan mengabdikan hidup dan perjuangannya.
Untuk memperlihatkan bagaimana perjuangan
dilevel diskursif dari Tjipto Mangoenkosoemo yang berpijak dari semangat
republikan patriotisme, ada baiknya apabila kita menengok sekilas polemik
Tjipto dengan Soetatmo Soerjokoesoemo yang dilakukan pada saat pembukaan
Volksraad pada awal 1918 yang kemudian dilanjutkan dalam Konggres Pengembangan
Kebudayaan Jawa, 5-7 Juli 1918.
Perdebatan tersebut kemudian diterbitkan
pada tahun yang sama dalam selebaran berjudul "Javaansche of Indische
Nationalisme" (Nasionalisme Jawa atau Hindia). Dalam perdebatan ini
Soetatmo mengajukan argumen tentang pentingnya membangun nasionalisme
berlandaskan identitas Jawa, karena nasionalisme Jawa memiliki landasan
kebudayaan, bahasa dan sejarah yang sama sebagai bagian dari suku Jawa,
sementara nasionalisme Hindia tidak memiliki pendasaran kultural maupun bahasa
yang sama yang tak lebih dari produk kolonialisme Belanda.
Berbeda dengan Soetatmo, bagi Tjipto mereka
yang mengusung faham nasionalisme Jawa tidak menyadari gerak perkembangan
sejarah dunia. Kaum Bumiputera haruslah belajar pada kemajuan Eropa untuk mengejar
ketertinggalan dan menjadi bangsa yang mandiri. Meskipun Hindia Belanda sendiri
terdiri atas keberagaman suku, golongan, kebudayaan dan bahasa namun pencarian
atas pijakan persatuan sebagai bangsa tidak bisa lagi dikembalikan dalam
bayangan masa lalu tentang kemegahan Jawa yang telah menjadi himpunan wilayah
kolonial Belanda. Bagi Tjipto tugas yang dipikul oleh para pemimpin sekarang
adalah bekerja untuk nasionalisme Hindia.
Selanjutnya pada kesempatan kedua di
Konggres Pengembangan Kebudayaan Jawa , 5-7 Juli 1918, Tjipto Mangoenkosoemo
melakukan kritik terhadap kebudayaan Jawa dengan memperlihatkan sistem kasta
serta asas penggantian bupati yang bersifat turun-temurun yang justru menjadi
penyangga dari sistem kolonialisme Belanda (Budiawan 1994).
Apabila dilihat sekilas sampai disini
memang Tjipto Mangoenkosoemo merupakan penganut pencerahan dan modernitas
terkait dengan bagaimana arah masa depan Bumiputera sesuai dengan ide
kemajoean. Namun demikian apabila Tjipto difahami sebagai penganut faham modernitas
yang semata-mata meyakini sejarah yang bersifat linear dan anti tradisi, maka
kita akan kehilangan dimensi lain dari pemikiran Tjipto Mangoenkosoemo. Untuk
bagian ini kita akan mengulasnya kembali setelah saya menguraikan karakter
kebangsaan patriotisme dari pemikiran Tjipto Mangoenkosoemo.
Apabila telah diuraikan diatas bahwa apa
yang membedakan antara bahasa nasionalisme dan bahasa patriotisme adalah
apabila yang pertama menekankan pada homogenitas bahasa, pengalaman kultural
maupun etnis, sementara yang kedua menekankan pada perjuangan patirotik untuk
melawan penindasan dan dominasi serta mewujudkan tatanan komunitas politik yang
adil, egaliter dan anti penindasan ada baiknya kita menyimak ulasan Takeshi
Shiraishi (1997) tentang Tjipto berikut ini.
Meski Tjipto seringkali menulis sama dengan
bahasa kaum etis Belanda maupun pemimpin SI yang berada dalam ruang lingkup
gugus kolonial Belanda, namun dokter Tjipto Mangoenkoseomo pada tahun 1916
mendiagnosis penyakit kaum bumiputera dalam kerangka kontradiksi dialektis
antara dominasi dan subordinasi terletak pada "sifat patuh orang Jawa,
yang selalu bilang ja atau amin pada apapun yang dibebankan padanya sebagai
manusia, ia juga punya hak asasi manusia yang tak bisa dikesampingkan begitu
saja.
Berbicara kepada rekan Belandanya Tjipto
menegaskan bahwa "Dalam kasus kami sekarang semuanya sudah jelas, obat
bagi (masalah) kami adalah kurangnya semangat perlawanan. Budaya Jawa tak
membolehkan munculnya kritik kepada pemegang kuasa, sebaliknya budaya ini mengharuskan
kita tunduk tanpa syarat kepada penguasa. Kemudian ia kembali memperkuat
argumen perlawanannya dengan mengatakan "Akan tetapi, izinkan saya kembali
menjelaskan obat kami.
Saya bisa bilang bahwa itu tak lain adalah
pengorganisasian rasa tidak puas, Oposisi harus dilakukan pada pemegang
kuasa...". Kata-kata seperti Hak Asasi Manusia, semangat perlawanan,
kritik, dan oposisi adalah istilah-istilah yang sering tampil dalam argumentasi
pada tulisan-tulisan Tjipto Mangoenkosoemo.
Bahkan pada tahun 1911 saat kalangan
intelegensia Bumiputera masih meraba dan mengeja kemajoean dan modernitas,
Tjipto telah menunjukkan posisinya membela gagasan baru demokrasi dan
mengkritik kaum priyayi Bumiputera dengan artikel berjudul Takut Akan Demos.
Rangkaian kata-kata tentang semangat
perlawanan, Hak Asasi Manusia, oposisi dan demos ini memperlihatkan bahwa
komitmen utama Tjipto sebagai seorang republikan-patriotik bukanlah semata-mata
pada landasan spiritual atau keinginan membangun kesatuan berbasis persamaan budaya,
bangsa maupun suku yang menjadi pijakan dari nasionalisme.
Namun Tjipto menggugah kesadaran segenap
lapisan bumiputera untuk pentingnya memperjuangkan kemerdekaan bersama (common
liberty) dan institusi politik yang dapat merawatnya.
Dalam kemajemukan elemen-elemen suku,
bangsa, agama, ras, bahasa di Hindia Belanda maka Tjipto Mangoenkosoemo telah
memberikan sumbangan penting bahwa ikaran solidaritas sebagai suatu bangsa
hanya bisa muncul dalam fondasi solidaritas republikan yang melampaui elemen-elemen
partikularistik tersebut.
Landasan akan kesamaan nasib sebagai kaum
tertindas dan hanya mengorganisasikan perlawanan atas nama kesetaraan,
kebebasan bersama dan kekuasaan demokratik lah maka komitmen solidaritas
sebagai bangsa Hindia mendapatkan pendasarannya.
Komitmen patriotisme republik dari Tjipto
Mangoenkosoemo misalnya nampak dalam penekanan dimensi moralitas publik yang
begitu besar. Tjipto menjadi tokoh pergerakan nasional yang menggugah para kaum
muda dizamannya akan pentingnya keteladanan (virtue) dan komitmen bagi rakyat
bumiputera.
Hal ini nampak misalnya salah satu surat
Tjipto Mangoenkosoemo yang ditemukan oleh Harry A. Poeze (2008) berjudul Di
Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda kepada mahasiswa Fakultas
Kedokteran di Negeri Belanda yang berjudul Seruan. Dalam surat itu Tjipto
menyeru kepada para mahasiswa tersebut untuk rela berkorban meninggalkan uang
dan kemasyhuran untuk mengabdi bagi tanah air menyumbangkan tenaga dan
menyembuhkan wabah penyakit di Hindia Belanda.
Salah satu diskusi sejarah yang menarik
terkait dengan posisi intelektual dan politik Tjipto Mangoenkosoemo adalah
penyikapannya terhadap kemerdekaan nasional dan pemisahan dari pemerintahan
Hindia Belanda. Savitri Scherer (1985) dalam karyanya Keselarasan dan
Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX sepakat
dengan pandangan Sutan Sjahrir yang menganggap radikalisme Tjipto sebagai yang
paling tidak berbahaya.
Hal ini karena menurutnya Tjipto hanya
ingin mengubah pola relasi antara pemerintah dan yang diperintah dalam
konstruksi semesta rezime kolonial. Namun demikian pandangan diatas
dipertanyakan oleh Takeshi Shiraishi (1997), meskipun perjuangan Tjipto
Mangoenkosoemo bisa ditempatkan dalam perlawanan yang masih dapat difahami oleh
kalangan etis Belanda, jalan evolusi Tjipto ini memberi skema bagi pentingnya
demokratisasi tatanan politik, pengalaman kaum bumiputera dalam berparlemen
sebagai basis pijakan menuju fase selanjutnya yaitu kemerdekaan Indonesia.
Sehingga meskipun dimata penerusnya gagasan
Tjipto dinilai terlalu moderat namun pemikirannya menjadi rantai penghubung
kemunculan pemikiran-pemikiran nasionalisme yang lebih radikal seperti yang
digagas oleh salah satu muridnya di Bandung yaitu Soekarno maupun republikanisme
yang lebih progresif seperti diadopsi oleh Muhammad Hatta.
Kemodernan dan Tradisi
Dalam ulasan diawal terkait dengan polemik
Tjipto dengan Soetatmo berhubungan dengan nasionalisme Hindia atau Jawa, Tjipto
begitu kritis menghantam argumen Soetatmo dan pijakan otoritas tradisi Jawa
sebagai basis pendasarannya. Pembacaan atas uraian Tjipto secara sekilas akan
membawa kita sampai pada persepsi Tjipto sebagai anak kandung zaman kemajoean
yang mempercayai perjalanan sejarah secara linear dan berusaha membuang tradisi
(terutama Jawa) sebagai sesuatu yang harus disingkirkan saat menyongsong zaman
pencerahan.
Sebelum meyakini persepsi diatas, ada
baiknya kita menengok sebentar pandangan pemikir postcolonial India Partha
Catherjee (1993) dalam The Nation and Its Fragments ketika memahami formasi
nasionalisme anti-kolonial Asia dan Afrika dan kita bandingkan dengan pemikiran
nasionalis Indonesia khususnya Tjipto Mangoenkosoemo tentang relasi antara
tradisi India dan imajinasi Barat. Menurut Catherjee bahwa nasionalisme
antikolonial menciptakan wilayah kedaulatannya sendiri sebelum melakukan
perlawanan politik dengan kekuasaan imperial.
Hal itu mereka lakukan dengan membagi dua
ruang antara wilayah material dan spiritual. Ruang material seperti ekonomi,
tata-kenegaraan, sains dan tekhnlogi, dimana Barat telah menunjukkan
keunggulannya dibandingkan Timur. Pada ruang wilayah ini keunggulan Barat ini
telah difahami dan dipelajari oleh para intelegensia Timur. Sementara pada
wilayah spiritual, ruang dalam ini tetaplah dijaga untuk menunjukkan identitas
budaya kaum bumiputera. Dalam formula inilah maka semangat nasionalisme di
masyarakat jajahan tampil kepermukaan.
Apa yang diutarakan oleh Partha Catherjee
ini dalam taraf tertentu dapat menjelaskan gagasan-gagasan kemodernan dari
Tjipto Mangoenkosoemo. Dalam gugatannya terhadap tradisi feodalisme Jawa dan
eksposnya terhadap nasionalisme Hindia dan ide-ide kemajoean Tjipto tidaklah
menghantam tanpa ampun pandangan tradisi kejawaan dan segenap kode-kode
kultural yang ada didalamnya.
Yang dilakukan oleh Tjipto adalah melakukan
reinterpretasi terhadap ruang dalam spiritual dari tradisi dengan semangat baru
perlawanan dan kemodernan. Ketika Tjipto mengkritik sistem kasta, tatanan
feodal dan hierarkhi sosial yang tertanam kuat dalam budaya Jawa, ia menulis
pula buklet De Wayang yang menggunakan cerita tradisi Jawa Hindu yaitu Wayang
dengan dialog antara Abimanyu dan kakeknya untuk menemui ayahnya Arjuna.
Dalam fragmen tersebut, ditampilkan bahwa
didalam wayang seorang cucu seperti Abimanyu dapat bersikeras untuk
memperjuangkan keinginannya meskipun ditolak oleh kakeknya. Wayang sebagai
bagian dari tradisi Jawa digunakan oleh Tjipto sebagai medium untuk menyebarkan
tradisi perlawanan dimasyarakat Jawa sebagai obat dari penyakit konformis dan
selalu berkata ja yang telah menjadi penyakit akut masyarakat Jawa di era
feodalisme waktu itu.
Pada bagian lain tulisannya Tjipto
menyebutkan bahwa kerusakan budaya Jawa bukanlah secara semata-mata terletak
pada persoalan didalam budaya Jawa itu sendiri. Ia melihat bahwa Jawa telah
kehilangan kemerdekaan dan karakter teguhnya karena kekuaasaan otoriter dan
eksploitasi kapitalis penguasa Belanda. Tatanan menindas dan opresif inilah
yang menjadi sebab utama kehancuran kebudayaan Jawa. Sementara perjuangan untuk
melawan bentuk-bentuk penindasan ini ia uraikan dengan memberi keteladanan
seperti Pangeran Diponegoro maupun sosok wayang Abimanyu.
Dalam kemunculan virtue dari sikap ksatria
inilah, maka kemunculan ksatria-ksatria baru yang mampu menjadi warga Hindia di
masa depan (Takeshi Shiraishi 1997; 170). Demikianlah maka Tjipto menjadi salah
satu pelopor dari kalangan intelegensia awal Indonesia yang menempatkan antara
tradisi dan kemodernan secara dinamis.
Penggambaran-penggambaran ksatria wayang
selanjutnya menjadi bagian dari proses pendidikan politik maupun
propaganda-terutama sering dilakukan oleh Soekarno dalam orasi-orasinya yang
memukau rakyat kecil--yang kerapkali dilakukan untuk menggugah kesadaran
politik rakyat dan mengikuti zaman baru yaitu zaman kemajoean sebagai pintu
pembuka menyongsong kemerdekaan Indonesia.
Penutup
Dari pemaparan singkat atas gagasan-gagasan
dari Tjipto Mangoenkoesoemo kita dapat menjelaskan sedikit paradoks dan
kompleksitas dari pandangan-pandangan Tjipto Mangoenkosoemo. Sebagai seorang
penggugah awal pergerakan nasional Tjipto adalah seorang aktivis radikal yang
memiliki standar virtu yang tinggi pada masanya.
Ia menekankan pada pentingnya membangkitkan
semangat patriotisme dikalangan intelegensia awal Bumiputera untuk mengabdi
kepada rakyat, menolak setiap bentuk-bentuk kesewenang-wenangan dan menjadi
pendorong awal bagi proses demokratisasi politik di Hindia Belanda. Namun
demikian kritik dan pembangkangannya tersebut ia artikulasikan dalam batasan-batasan
konstruksi rezime kolonial.
Langkah tersebut tidak membatasi
perjuangannya hanya pada konteks relasi demokratis dalam formasi rezime
kolonial Hindia Belanda, karena di masa depan ia mempercayai bahwa dalam proses
politik yang keras, maka kaum Bumiputera secara evolusioner dapat merebut
kemerdekaannya. Komitmen itu dapat dibuktikan dari keterlibatannya dalam
organisasi Indische Partij yang memiliki tujuan membangun nasionalisme yang
inklusif serta kemerdekaan Hindia.
Paradoks selanjutnya dapat kita telusuri
dari komitmen Tjipto terhadap nilai-nilai kemoderan dan kemajoean. Meski kritik
Tjipto terhadap kultur feodalisme Jawa begitu keras dan menghantam hierarkhi
kekuasaan, namun ia melakukan reinterpetasi terhadap budaya Jawa.
Figur-figur ksatria dalam pewayangan maupun
figur histories seperti Pangeran Diponegoro ia artikulasikan untuk menggugah
komitmen dari para aktivis pergerakan dan intelegensia muda Hindia untuk
memperjuangkan kehidupan yang lebih baik kebebasan politik yang lebih luas bagi
rakyat Hindia dan kemajuan perjuangan politik rakyat untuk merebut hak-haknya.
Setelah kita menguraikan secara padat
dinamika pemikiran nasionalisme patriotik dari Tjipto Mangoenkoesoemo kita
dapat menarik garis pelajaran penting dari buah-buah gagasannya di masa lalu
untuk memudakan dan menyehatkan kembali ruang politik kita disaat ini.
Pertama, dalam konteks politik kita
sekarang, aktivisme politik Tjipto Mangoenkoesoemo memberi kita pelajaran
penting bahwa politik pertama-tama adalah sebuah komitmen untuk memperjuangkan
kemerdekaan bersama dan terbangunnya sebuah komunitas politik yang menolak
kesewenang-wenangan.
Keteladanan dan standar moral yang tinggi
dalam wilayah politik (virtue) untuk membela rakyat yang dimiskinkan yang
selalu kerapkali diserukan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo masih menjadi seruan
yang penting bagi arena politik kita saat ini.
Kedua, Tjipto sebagai penyeru nasionalisme
inklusif awal di tanah Hindia mengingatkan kita bahwa basis fondasional dari
kebangsaan kita bukanlah pada elemen-elemen esensial seperti homogenitas suku,
bahasa, agama dan kebudayaan namun nasionalisme kita dibangun berdasarkan
solidaritas bersama dalam konteks kesatuan dalam keragaman. Dalam ikatan
jalinan solidaritas bersama dalam kebhinekaan inilah, maka jalinan kebangsaan
Indonesia hanya dapat dirawat ketika keadilan sosial dan kesetaraan sebagai
warganegara tetap diperjuangkan dalam institusi politik yang demokratis.
Ketiga, Kompleksitas dan dialog Tjipto
dengan modernitas dan tradisi memperlihatkan bahwa jalan kemajuan adalah gerak
dinamis melihat keluar dan melihat kedalam. Bahwa ide-ide kemajuan dari luar
seprogresif apapun membutuhkan proses dialog dan penyesuaian dengan konteks
tradisi lokal sementara disisi lain tidak ada pula tradisi lokal yang selalu utuh
dan bertahan tanpa melihat dinamika zaman. Proses reinterpretasi dan dialog
dengan nilai-nilai kemajuan menjadi penting agar tradisi tetap memberikan
relevansinya bagi kemanusiaan.
Sumber Rujukan:
- Budiawan (1994). Nostalgia atau Utopia.
Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 3.
- Chatterjee, Partha (1993) The Nation and
Its Fragments. Princeton University Press.
- Latif, Yudi (2011) Negara Paripurna.
Gramedia.
- Poeze A., Harry (2008) Di Negeri
Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. KPG dan KITLV-Jakarta.
- Shiraishi, Takeshi (1997) Zaman Bergerak:
Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Grafiti Jakarta
- Scherer, Savitri Prastiti (1985)
Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal
Abad XX. Sinar Harapan.
- Viroli, Maurizio (1995) For Love of
Country: an Essay on Patriotism and Nationalism. Oxford University Press.

0 comments :
Posting Komentar