Selasa, 07 Oktober 2014

BPJS Kedodoran, Puskesmas Kewalahan!

Oleh : DR. Yaslis Ilyas, DRG. MPH. HIA. MHP. AAK

Pada artikel2 yang lalu, penulis telah menyampaikan kenapa BPJS kedodoran sebagai pelaksana JKN. Banyak faktor internal dan eksternal BPJS yang harus segera dibenahi agar pelayanan kepersertaan dan kerjasama dengan PPK dapat berjalan dengan baik. Masalahnya, pembenahan paralel dengan pelayanan bermutu sulit diwujudkan. Kondisi ini berefek tingginya ketidak puasan peserta terhadap BPJS dan PPK.

Peserta JKN benar-benar pada posisi lemah diantara dua pihak yang berkuasa PPK dan BPJS. Peserta sudah jatuh ketiban tangga pada sistem JKN yang menempatkan pasien pada posisi inferior tanpa ada pembelaan dari pihak manapun. Pada bisnis asuransi kesehatan seharusnya BPJS berpihak kepada peserta ketika PPK tidak melayani sesuai dengan kontrak dengan BPJS. Masalahnya, bagaimana sebenarnya kontrak antara PPK dengan BPJS? Apakah jelas tertulis hak dan tanggung jawab pihak2 yang berkomitmen untuk menjalankan JKN? Apakah terjadi kerjasama National Casemix Center Kemenkes dengan BPJS ketika menelurkan INA CBG?

Ketika peserta tidak mendapatkan pelayanan sesuai hak mereka; BPJS tidak bereaksi apapun! Karena BPJS inferior terhadap PPK. Seharusnya, BPJS dapat menegur PPK agar melayani peserta sesuai dengan kontrak kerjasama dengan PPK.Mereka seharusnya mempunyai nyali untuk melindungi hak-hak peserta. BPJS bersikap, biarlah pelayanan kesehatan diserahkan dan urusan PPK; itu bukan bisnis BPJS.

Kontrak kerja BPJS dengan PPK sebenarnya harus saling menguntungkan dan bertanggung jawab. Pada kasus Puskesmas, kontrak kerja via Dinas Kesehatan kotamadya atau kabupaten. Sebenarnya, dana kapitasi cukup besar karena jumlah peserta besar (20.000 sd 40.000 peserta). Tapi, dana kapitasi yang besar tsb harus dibayarkan ke Dinas pendapatan daerah kemudian sebagian baru didistribusikan ke Puskesmas. Kasus di beberapa Kabupaten di Madura dana hanya turun lebih kurang 45%, sedangkan 55% tetap menjadi pendapatan daerah. Seharusnya dana tsb dapat digunakan untuk meningkatkan sarana dan prasarana puskesmas. Personel puskesmas kerja keras dengan resiko tinggi, imbalan tidak sesuai harapan. Tentunya hal ini akan berefek terhadap semangat dan mutu kerja personel puskesmas.

Bagaimana Panduan klinik dokter Puskesmas?

Berdasarkan Panduan praktek klinis bagi dokter di puskesmas setiap dokter harus mempunyai kompetensi mendiagnosa dan mengobati 144 jenis penyakit, yang terdiri : kelompok penyakit dan kelainan Umum, darah dan sistem imum (termasuk: Hiv/AidS tanpa komplikasi), kelainan Digestive, Mata, Telinga, Hidung, Kardiovaskuler,Muskuloskeletal, Neurologi, Psikologis, Kulit, Metabolik Endokrin dan Nutrisi, Saluran Kemih, Kesehatan Wanita dan Penyakuit Kelamin.
Rasanya, dokter puskesmas dengan kompetensi seperti Panduan sulit untuk ditemui. Perlu pendidikan khusus untuk meningkatkan kompetensi dokter sehingga memenuhi kompetensi panduan. Seluruh dokter puskesmas harus mendapatkan pelatihan khusus sebelum berkerja di puskesmas. Lucunya, BPJS mentolerir puskesmas tanpa dokter dengan membayar kapitasi hanya Rp 3000/peserta (efisien yah, mas). Bagaimana mutu pelayanan dan tanggung jawabnya mas? Diperkirakan sekitar 20% sd 30% puskesmas tidak mempunyai dokter terutama didaerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan terutama luar Jawa dan Sumatera.

Andaikanpun, dokter puskemas mempunyai kompetensi seperti Panduan Klinik. Pertanyaan selanjutnya, apakah fasilitas dan alat kerja dan sdm lainnya dapat mendukung mutu kerja dokter puskesmas? Apakah obat, bahan medik habis pakai, bahan lab, dan alat kesehatan tersedia untuk tegakan diagnosa dan terapi di puskesmas? Perlu standarisasi baru: obat, fasilitas, alat kerja dan mutu SDM puskesmas sesuai panduan klinik dokter puskesmas.

Apakah kompetensi dokter sama dengan paket pelayanan BPJS?

Dilapangan terjadi kerancuan kompetensi dokter puskesmas versus paket pelayanan primer. Banyak rujukan dokter puskemas yang ditolak RS karena dianggap dapat diobati di puskesmas. Alasannya, kalau rujukan diterima maka RS tidak dibayar oleh BPJS. Lagi-lagi pasien yang menjadi korban sistem yang tidak jelas tanggung jawabnya. Ini kerancuan yang harus diselesaikan antara BPJS, Puskesmas dan RS.

Rujuk balik pasien kepuskesmas oleh RS juga menimbulkan masalah bagi peserta dengan penyakit kronis. Pasien harus antri kembali di puskesmas untuk dapat resep untuk diambil di apotik jaringan yang stock obat habis melulu. Kalau begini yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan ke pasien siapa? Dokter puskemas atau dokter spesialis RS? Lagi-lagi yang malang peserta JKN.

Bagaimana mutu layanan Puskesmas?

Dengan jumlah peserta yang tinggi, obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan dan mutu sdm yang terbatas sulit mengharapkan pelayanan puskesmas sesuai panduan kompetensi dokter klinik di puskesmas. Akhirnya, dokter puskesmas akan mengobati pasien sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Jangan heran, setiap peserta berobat mendapat obat dengan warna dan jumlah yang sama walau kemungkinan penyakit beda.

Puskesmas kewalahan?

Kunjungan pasien akan membludak, puskesmas kewalahan. Diperkirakan , prevalensi kunjungan peserta 10-15%/ bulan. Artinya, setiap hari puskesmas dan klinik swasta akan dikunjung sebanyak 12-18 juta/pasien/bulan! Dengan segala keterbatasan plus mutu dan distribusi SDM terbatas; PKM akan menghasilkan pelayanan yang inferior. Tingkat kepuasan akan rendah berefek angka rujukan ke RS akan tinggi. Nah, kalo begini jangan sampai ada lagi pasien yang dibuang RS seperti yang dilakukan RSUD Bandarlampung. Rasanya peran, Pemda dan Dinkes daerah jadi sangat potensial untuk suksesnya pelayanan primer Jaminan Kesehatan Nasional.

*) Pendiri: Perhimpunan Ahli Jaminan

0 comments :

Posting Komentar

 
Design by Rekan Indonesia | Bloggerized by joel75 - Kolektif Pimpinan Pusat