Senin, 29 September 2014

Premi BPJS Mahal?

Oleh Dr. Yaslis Ilyas
Ide untuk menuliskan topik ini, ketika saya melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pontianak untuk menghadiri Kongres PDGI pada tgl 28-29 Mei, 2014, Kalimantan Barat.Saya diundang oleh Panitia Kongres sebagai narasumber Seminar Nasional tentang ImplementasiJKN oleh BPJS. Di pesawat GIA, penulis ngobrol dengan dengan penumpang yang duduk disebelah. Beliau baru saja mengantar anak gadisnya untuk masuk pesantren putri Sanawiyah di kota Bekasi, Jawa Barat. Beliau tinggal di kota Mempawah ratusan kilo meter dari kota Pontianak. 
Beliau berpendidikan sarjana ekonomi sekarang menjadi petani dan pengusaha kripik pisang. Dia bercerita kripik pisang dijual ketoko2 di Pontianak dan sudah mulai juga mengirim ke Jakarta. Volume penjualan kripik semakin baik sehingga beliau harus membeli pisang dari kebun teman di kampungnya. Saya sangat respek pada Bapak ini, sangat jarang sarjana mau menjadi petani dan mengembangkan agrobisnis sendiri dan dapat menyerap hasil kebun pisang keluarga lain di kampungnya. Luaar biasa ya, umumnya para sarjana bahkan sarjana pertanian sekalipun tidak mau jadi petani, bukan? Beliau juga bercerita setelah tamat sarjana pernah berkerja di perusahaan Asuransi Jiwa di Pontianak, tetapi beliau berhenti malah memilih agribisnis sebagai pekerjaan yang ditekuninya bersama keluarga.
Saya jadi tertarik untuk menanyakan: “ Apakah keluarga bapak sudah menjadi peserta JKN”? Dia menjawab: “Tidak minat, pak”. Sebagai orang yang mengetahui pentingnya asuransi, sangat mengherankan dia tidak berminat jadi peserta JKN. Dari aspek finansial, mestinya beliau mampu untuk membayar minimal premi Klas 2 untuk keluarganya. Indikatornya, beliau mampu membiayai anak gadisnya untuk sekolah ke pulau Jawa. 
Saya mencoba menggali dengan bertanya : “Kenapa tidak minat jadi peserta JKN”? Kami ini tinggal di kampung dengan lingkungan sehat, setiap hari ke kebun berkerja dan berkeringat. Kami sekeluarga hampir tidak pernah sakit dan saya juga tidak merokok dan kalau perlu berobat ke puskesmas juga sangat murah. Jadi buat apa harus jadi peserta JKN? Rasional dan logis, bukan? Karena resiko kecil, buat apa bayar dua ratusan ribu per bulan untuk 5 anggota keluarganya?
Selanjutnya, saya tanya: “ Apakah keluarga di kampung ada yang ikutan JKN”? Dia menjawab: “ Wah tidak ada pak, preminya mahal”. Bukankah kelas 3 preminya hanya Rp 25.500/bln? “Keluarga petani tidak ada yang mampu pak” jawabnya. Kalau satu keluarga ada 5 jiwa itu berarti Rp 127.500/bulan, tidak ada keluarga yang mampu di kampung saya. Aku bertanya; “ Apa indikatornya pak”? Dia menjelaskan: “ Indikatornya mudah banyak petani untuk bayar listrik saja menunggak sehingga listrik diputus oleh PLN”. Mana yang lebih penting listrik atau menjadi peserta JKN? Terus terang saya tidak bisa menjawab. Pikiranku melayang ke BPJS, penetapan besaran tarif premi peserta JKN ini untuk siapa? Yang pasti bukan untuk rakyat Indonesia yang berkerja sebagai petani dan nelayan dan kelompok hampir miskin perkotaan di seluruh Nusantara! 
Padahal diperkirakan jumlah kelompok ini berkisar 30 jutaan orang diseluruh Indonesia. Kalau demikian, kapan Universal coverage dapat dicapai? Sedangkan road map BPJS jaminan kesehatan semesta akan dicapai tahun 2019, mungkinkah? Biarlah kali ini, BPJS yang berwenang untuk menjawabnya!!

0 comments :

Posting Komentar

 
Design by Rekan Indonesia | Bloggerized by joel75 - Kolektif Pimpinan Pusat